Indonesia-Singapura Berpotensi Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Asia
Indonesia-Singapura Berpotensi Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Asia. Indonesia dan Singapura berpotensi besar menjadi twin engine (mesin
ganda) yang berkontribusi memacu pertumbuhan ekonomi di Asia. Apalagi,
kedua negara semakin agresif menjalin kerja sama yang strategis mulai
dari kemitraan sektor industri, peningkatan kompetensi sumber daya
manusia, serta kegiatan penelitian dan pengembangan.
“Dengan kolaborasi, tentunya akan tercipta peluang ekonomi yang lebih besar. Jadi, saat ini tidak ada ‘kompetisi’ antara Indonesia dan Singapura,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Menperin menjelaskan, langkah sinergi yang dilakukan Indonesia-Singapura bertujuan untuk saling melengkapi kebutuhan kedua negara sehingga nantinya sama-sama menguntungkan dan membawa kesejahteraan masyarakat.
“Maka itu, peningkatkan kerja sama dalam kesiapan memasuki revolusi industri 4.0 saat ini, menjadi sarana yang tepat untuk mendongkrak produktivitas,” tuturnya.
Airlangga juga melihat, masing-masing negara memiliki keunggulan yang saling mendukung, terutama di tengah bergulirnya era digital. Misalnya, Indonesia sudah memiliki empat perusahaan rintisan (startup) yang mencapai status unicorn atau punya valuasi bisnis lebih dari USD1 miliar.
“Saat ini ada Go-Jek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia. Kami proyeksi pada tahun-tahun mendatang akan ada startup lain yang juga mencapai status unicorn,” ungkapnya.
Sementara itu, Singapura merupakan investor terbesar di Indonesia. Sepanjang tahun 2017, Negeri Singa Merlion telah menanamkan modalnya hingga USD8,4 miliar atau berkontribusi 26,2% dari total investasi asing di Indonesia. Capaian ini melampaui Jepang sebesar USD5 miliar (15,5%), China USD3,4 miliar (10,4%), Hong Kong USD2,1 miliar (6,6%), dan Korea Selatan USD20 miliar (6,3%).
Pada semester I tahun 2018, investasi Singapura ke Indonesia tercatat hingga USD5,04 miliar atau naik 38% dibanding periode yang sama tahun lalu. “Sedangkan di tahun 2017, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Singapura menembus USD9 miliar, menjadikan Singapura sebagai tujuan terbesar kelima dalam pengapalan produk manufaktur nasional,” paparnya.
Pengalaman kerja sama Indonesia-Singapura juga terwujud dalam pengembangan Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. “Saat ini, kami sudah memiliki lebih dari 43 tenant di KIK. Selanjutnya, kami tengah memfokuskan untuk pengembangan Politeknik Furnitur di kawasan tersebut,” ungkap Menperin.
Kawasan industri terintegrasi pertama di Jawa Tengah itu diproyeksikan menyerap potensi investasi sebesar USD500 juta. Pada tahap pertama, lahan yang akan digarap seluas 1.000 hektare dengan target 300 tenant dan bakal menyerap tenaga kerja sebanyak 500 ribu orang hingga tahun 2025.
Airlangga menambahkan, kedua negara sepakat memperkuat kerja sama di bidang pendidikan kejuruan terutama untuk mengisi kebutuhan di sektor industri. “Guru dan dosen dari Indonesia telah dikirim untuk mengikuti program pelatihan vokasi di Singapura, seperti di bidang permesinan, pembangkit listrik, dan teknik otomasi industri,” jelasnya.
Bahkan, potensi kolaborasi Indonesia-Singapura ke depannya akan dijalin di bidang ekonomi digital seiring dengan berjalannya era revolusi industri 4.0. Salah satu prioritasnya adalah pengembangan Nongsa Digital Park di Batam sebagai wujud konkret kesepakatan kedua Kepala Pemerintahan untuk menjadikan Batam sebagai ‘digital bridge’ Singapura ke Indonesia.
Komitmen kerja sama bilateral yang baru saja terjalin, yakni penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara dengan CEO Enterprise Singapore, Png Cheong Boon.
Kesepakatan ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan Pertemuan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia (IMF-WBG) 2018.
Ruang lingkup pelaksanaan MoU yang akan dikolaborasikan bersama, antara lain menghubungkan industri Indonesia dengan penyedia teknologi Singapura, mengeksplorasi inisiatif untuk mendorong adopsi solusi inovasi manufaktur antar industri, dan pengembangan kurikulum pelatihan terkait Industri 4.0 untuk industri Indonesia.
MoU tersebut juga mendukung penerapan Making Indonesia 4.0 guna memacu 5 sektor manufaktur, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektonika. Perjanjian kerja sama ini mulai berlaku sejak tanggal ditandangani (11/10/2018) sampai dua tahun ke depan dan dapat diperpanjang kembali dalam periode waktu yang sama.
“Dengan kolaborasi, tentunya akan tercipta peluang ekonomi yang lebih besar. Jadi, saat ini tidak ada ‘kompetisi’ antara Indonesia dan Singapura,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Menperin menjelaskan, langkah sinergi yang dilakukan Indonesia-Singapura bertujuan untuk saling melengkapi kebutuhan kedua negara sehingga nantinya sama-sama menguntungkan dan membawa kesejahteraan masyarakat.
“Maka itu, peningkatkan kerja sama dalam kesiapan memasuki revolusi industri 4.0 saat ini, menjadi sarana yang tepat untuk mendongkrak produktivitas,” tuturnya.
Airlangga juga melihat, masing-masing negara memiliki keunggulan yang saling mendukung, terutama di tengah bergulirnya era digital. Misalnya, Indonesia sudah memiliki empat perusahaan rintisan (startup) yang mencapai status unicorn atau punya valuasi bisnis lebih dari USD1 miliar.
“Saat ini ada Go-Jek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia. Kami proyeksi pada tahun-tahun mendatang akan ada startup lain yang juga mencapai status unicorn,” ungkapnya.
Sementara itu, Singapura merupakan investor terbesar di Indonesia. Sepanjang tahun 2017, Negeri Singa Merlion telah menanamkan modalnya hingga USD8,4 miliar atau berkontribusi 26,2% dari total investasi asing di Indonesia. Capaian ini melampaui Jepang sebesar USD5 miliar (15,5%), China USD3,4 miliar (10,4%), Hong Kong USD2,1 miliar (6,6%), dan Korea Selatan USD20 miliar (6,3%).
Pada semester I tahun 2018, investasi Singapura ke Indonesia tercatat hingga USD5,04 miliar atau naik 38% dibanding periode yang sama tahun lalu. “Sedangkan di tahun 2017, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Singapura menembus USD9 miliar, menjadikan Singapura sebagai tujuan terbesar kelima dalam pengapalan produk manufaktur nasional,” paparnya.
Pengalaman kerja sama Indonesia-Singapura juga terwujud dalam pengembangan Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. “Saat ini, kami sudah memiliki lebih dari 43 tenant di KIK. Selanjutnya, kami tengah memfokuskan untuk pengembangan Politeknik Furnitur di kawasan tersebut,” ungkap Menperin.
Kawasan industri terintegrasi pertama di Jawa Tengah itu diproyeksikan menyerap potensi investasi sebesar USD500 juta. Pada tahap pertama, lahan yang akan digarap seluas 1.000 hektare dengan target 300 tenant dan bakal menyerap tenaga kerja sebanyak 500 ribu orang hingga tahun 2025.
Airlangga menambahkan, kedua negara sepakat memperkuat kerja sama di bidang pendidikan kejuruan terutama untuk mengisi kebutuhan di sektor industri. “Guru dan dosen dari Indonesia telah dikirim untuk mengikuti program pelatihan vokasi di Singapura, seperti di bidang permesinan, pembangkit listrik, dan teknik otomasi industri,” jelasnya.
Bahkan, potensi kolaborasi Indonesia-Singapura ke depannya akan dijalin di bidang ekonomi digital seiring dengan berjalannya era revolusi industri 4.0. Salah satu prioritasnya adalah pengembangan Nongsa Digital Park di Batam sebagai wujud konkret kesepakatan kedua Kepala Pemerintahan untuk menjadikan Batam sebagai ‘digital bridge’ Singapura ke Indonesia.
Komitmen kerja sama bilateral yang baru saja terjalin, yakni penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara dengan CEO Enterprise Singapore, Png Cheong Boon.
Kesepakatan ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan Pertemuan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia (IMF-WBG) 2018.
Ruang lingkup pelaksanaan MoU yang akan dikolaborasikan bersama, antara lain menghubungkan industri Indonesia dengan penyedia teknologi Singapura, mengeksplorasi inisiatif untuk mendorong adopsi solusi inovasi manufaktur antar industri, dan pengembangan kurikulum pelatihan terkait Industri 4.0 untuk industri Indonesia.
MoU tersebut juga mendukung penerapan Making Indonesia 4.0 guna memacu 5 sektor manufaktur, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektonika. Perjanjian kerja sama ini mulai berlaku sejak tanggal ditandangani (11/10/2018) sampai dua tahun ke depan dan dapat diperpanjang kembali dalam periode waktu yang sama.
Komentar
Posting Komentar